KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA (KDRT)
PADA ANAK USIA DINI
Ibu dan ayah mungkin sudah sering mendengar istilah
kekerasan dalam rumah tangga, yang biasa disingkat
menjadi KDRT. Banyak pemberitaan di televisi, koran, dan
radio yang menceritakan beberapa artis atau perempuan yang mengalami KDRT.
Sebagian besar dari kita beranggapan, KDRT hanya berupa
kekerasan fisik atau kata-kata kasar, padahal sebenarnya KDRT
itu ada banyak macamnya. Banyak pula yang menganggap
KDRT adalah masalah pribadi dan tabu untuk dibicarakan,
padahal KDRT adalah kejahatan dan merupakan masalah
bersama. Di negara kita ada undang-undang yang khusus
mengatur masalah KDRT, yaitu Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (atau lebih dikenal dengan istilah UU PKDRT). Jadi,
siapa pun yang melakukan KDRT bisa mendapat hukuman,
baik berupa kurungan penjara maupun denda.
Cukup banyak yang mengalami KDRT memilih untuk
bertahan karena menilai anak-anak membutuhkan orangtua
lengkap. Pada bacaan berikut, kita akan melihat, ternyata
anak juga bisa mengalami dampak kejiwaan atau psikologis
akibat KDRT. Untuk lebih memahami soal seluk beluk KDRT,
silakan membaca tulisan ini.
Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
Menurut UU PKDRT No.23 tahun 2004: KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Jadi, KDRT adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota
keluarga kepada anggota keluarga lain yang 1) dapat
menimbulkan luka, rasa sakit, luka berat, cacat, atau kematian;
dan 2) dapat menyebabkan orang lain merasa ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
melakukan sesuatu, rasa tidak berdaya, dan/atau gangguan
kejiwaan berat .
Perbuatannya apa saja?
1. Bisa berupa kekerasan fisik. Misalnya, memukul,
menendang, menjambak, mendorong, menampar, mencubit, melempar benda, menyiram dengan air,
dihukum dengan mengangkat satu kaki, dan masih
banyak lagi.
2. Bisa berupa kekerasan psikis. Contohnya, memaki
dengan kata-kata kasar atau binatang, memarahi di
depan orang banyak, mengancam, mendiamkan, dan
masih banyak lagi.
3. Memaksakan hubungan seksual, posisi seksual tertentu,
atau memaksakan hubungan seksual secara komersial
(”melacurkan” diri).
4. Menelantarkan, tidak merawat, tidak memelihara,
membatasi, atau dipaksa bekerja untuk mencari nafkah
Apa jaminan hukum bagi yang mengalaminya?
Dalam Undang-Undang PKDRT dijelaskan soal jaminan
hukum bagi mereka yang mengalaminya, yaitu:
1. Jaminan perlindungan sementara dari pihak kepolisian
dan surat perintah perlindungan dari pengadilan.
2. Hukuman untuk pelaku diatur sesuai dengan jenis
kekerasan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan.
3. Hak-hak bagi mereka yang mengalaminya.
Sayangnya hanya mereka yang terikat perkawinan sah
secara hukum sajalah yang dapat dilindungi oleh UU
PKDRT ini. Kekerasan yang terjadi pada masa pacaran,
nikah siri, nikah bawah tangan, atau pasangan yang
hidup bersama, tidak dilindungi.
Apa akibat KDRT pada anak?
Anak bisa menjadi korban langsung maupun tidak langsungMaksudnya, ketika anak mengalami sendiri kekerasan,
maka anak adalah korban langsung. Namun jika anak hanya
mendengar atau menyaksikan kekerasan terhadap anggota
keluarga lainnya, maka anak menjadi korban tidak langsung.
Meskipun anak tidak langsung mengalami kekerasan, akibat
yang muncul pada anak sama besarnya dengan yang dialami
oleh orangtuanya.
Akibat yang mungkin muncul pada anak antara lain:
• Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget
melihat kekerasan yang terjadi pada orangtuanya.
• Tumbuh perasaan bersalah karena menganggap diri
menjadi penyebab munculnya kekerasan.
• Menjadi rewel, mengeluh sakit, sulit tidur, dan kembali
berperilaku seperti bayi (mengisap jempol, mengompol,
berbicara menggunakan bahasa bayi atau cadel, selalu
minta digendong atau ditemani).
• Cenderung suka melawan dan kasar atau malah
justru menjadi tidak mau berteman dan lebih memilih
menyendiri.
• Jika hal tersebut dibiarkan terus, kemungkinan bisa
mengganggu perkembangan anak, baik secara fisik,
kejiwaan, perilaku, maupun prestasinya nanti.
• Dampak jangka panjang pada anak laki-laki adalah
meniru perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya.
Sedangkan anak perempuan cenderung menerima
kekerasan sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika
dewasa nanti besar kemungkinan akan kembali menjadi
korban,
TANGGA (KDRT)
PADA ANAK USIA DINI
Ibu dan ayah mungkin sudah sering mendengar istilah
kekerasan dalam rumah tangga, yang biasa disingkat
menjadi KDRT. Banyak pemberitaan di televisi, koran, dan
radio yang menceritakan beberapa artis atau perempuan yang mengalami KDRT.
Sebagian besar dari kita beranggapan, KDRT hanya berupa
kekerasan fisik atau kata-kata kasar, padahal sebenarnya KDRT
itu ada banyak macamnya. Banyak pula yang menganggap
KDRT adalah masalah pribadi dan tabu untuk dibicarakan,
padahal KDRT adalah kejahatan dan merupakan masalah
bersama. Di negara kita ada undang-undang yang khusus
mengatur masalah KDRT, yaitu Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (atau lebih dikenal dengan istilah UU PKDRT). Jadi,
siapa pun yang melakukan KDRT bisa mendapat hukuman,
baik berupa kurungan penjara maupun denda.
Cukup banyak yang mengalami KDRT memilih untuk
bertahan karena menilai anak-anak membutuhkan orangtua
lengkap. Pada bacaan berikut, kita akan melihat, ternyata
anak juga bisa mengalami dampak kejiwaan atau psikologis
akibat KDRT. Untuk lebih memahami soal seluk beluk KDRT,
silakan membaca tulisan ini.
Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
Menurut UU PKDRT No.23 tahun 2004: KDRT adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Jadi, KDRT adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota
keluarga kepada anggota keluarga lain yang 1) dapat
menimbulkan luka, rasa sakit, luka berat, cacat, atau kematian;
dan 2) dapat menyebabkan orang lain merasa ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
melakukan sesuatu, rasa tidak berdaya, dan/atau gangguan
kejiwaan berat .
Perbuatannya apa saja?
1. Bisa berupa kekerasan fisik. Misalnya, memukul,
menendang, menjambak, mendorong, menampar, mencubit, melempar benda, menyiram dengan air,
dihukum dengan mengangkat satu kaki, dan masih
banyak lagi.
2. Bisa berupa kekerasan psikis. Contohnya, memaki
dengan kata-kata kasar atau binatang, memarahi di
depan orang banyak, mengancam, mendiamkan, dan
masih banyak lagi.
3. Memaksakan hubungan seksual, posisi seksual tertentu,
atau memaksakan hubungan seksual secara komersial
(”melacurkan” diri).
4. Menelantarkan, tidak merawat, tidak memelihara,
membatasi, atau dipaksa bekerja untuk mencari nafkah
Apa jaminan hukum bagi yang mengalaminya?
Dalam Undang-Undang PKDRT dijelaskan soal jaminan
hukum bagi mereka yang mengalaminya, yaitu:
1. Jaminan perlindungan sementara dari pihak kepolisian
dan surat perintah perlindungan dari pengadilan.
2. Hukuman untuk pelaku diatur sesuai dengan jenis
kekerasan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan.
3. Hak-hak bagi mereka yang mengalaminya.
Sayangnya hanya mereka yang terikat perkawinan sah
secara hukum sajalah yang dapat dilindungi oleh UU
PKDRT ini. Kekerasan yang terjadi pada masa pacaran,
nikah siri, nikah bawah tangan, atau pasangan yang
hidup bersama, tidak dilindungi.
Apa akibat KDRT pada anak?
Anak bisa menjadi korban langsung maupun tidak langsungMaksudnya, ketika anak mengalami sendiri kekerasan,
maka anak adalah korban langsung. Namun jika anak hanya
mendengar atau menyaksikan kekerasan terhadap anggota
keluarga lainnya, maka anak menjadi korban tidak langsung.
Meskipun anak tidak langsung mengalami kekerasan, akibat
yang muncul pada anak sama besarnya dengan yang dialami
oleh orangtuanya.
Akibat yang mungkin muncul pada anak antara lain:
• Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget
melihat kekerasan yang terjadi pada orangtuanya.
• Tumbuh perasaan bersalah karena menganggap diri
menjadi penyebab munculnya kekerasan.
• Menjadi rewel, mengeluh sakit, sulit tidur, dan kembali
berperilaku seperti bayi (mengisap jempol, mengompol,
berbicara menggunakan bahasa bayi atau cadel, selalu
minta digendong atau ditemani).
• Cenderung suka melawan dan kasar atau malah
justru menjadi tidak mau berteman dan lebih memilih
menyendiri.
• Jika hal tersebut dibiarkan terus, kemungkinan bisa
mengganggu perkembangan anak, baik secara fisik,
kejiwaan, perilaku, maupun prestasinya nanti.
• Dampak jangka panjang pada anak laki-laki adalah
meniru perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya.
Sedangkan anak perempuan cenderung menerima
kekerasan sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika
dewasa nanti besar kemungkinan akan kembali menjadi
korban,