INGAT !!!!!!!! ANAK ASET BANGSA,ORANGTUA DAN AGAMA

KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA (KDRT)
PADA ANAK USIA DINI

Ibu  dan  ayah  mungkin  sudah  sering  mendengar  istilah
kekerasan  dalam  rumah  tangga,  yang  biasa  disingkat
menjadi KDRT. Banyak pemberitaan di televisi, koran, dan
radio yang menceritakan beberapa artis atau perempuan yang mengalami KDRT.
Sebagian besar dari kita beranggapan, KDRT hanya berupa
kekerasan fisik atau kata-kata kasar, padahal sebenarnya KDRT
itu ada banyak macamnya. Banyak pula yang menganggap
KDRT  adalah  masalah  pribadi  dan  tabu  untuk  dibicarakan,
padahal   KDRT  adalah  kejahatan  dan  merupakan  masalah
bersama.  Di  negara  kita  ada  undang-undang  yang  khusus
mengatur  masalah  KDRT,  yaitu  Undang-Undang  Nomor  23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (atau lebih dikenal dengan istilah UU PKDRT). Jadi,
siapa pun yang melakukan KDRT bisa mendapat hukuman,
baik berupa kurungan penjara maupun denda.
Cukup  banyak  yang  mengalami   KDRT  memilih  untuk
bertahan karena menilai anak-anak membutuhkan orangtua
lengkap.  Pada  bacaan  berikut,  kita  akan  melihat,  ternyata
anak juga bisa mengalami dampak kejiwaan atau psikologis
akibat KDRT. Untuk lebih memahami soal seluk beluk KDRT,
silakan membaca tulisan ini.
Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?
Menurut  UU  PKDRT  No.23  tahun  2004:  KDRT  adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan,
yang  berakibat  timbulnya  kesengsaraan  atau  penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga,  termasuk  ancaman  untuk  melakukan  perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Jadi, KDRT adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota
keluarga  kepada  anggota  keluarga  lain  yang  1)  dapat
menimbulkan luka, rasa sakit, luka berat, cacat, atau kematian;
dan  2)  dapat  menyebabkan  orang  lain  merasa  ketakutan,
hilangnya  rasa  percaya  diri,  hilangnya  kemampuan  untuk
melakukan sesuatu, rasa tidak berdaya, dan/atau gangguan
kejiwaan berat .
Perbuatannya apa saja?
1. Bisa  berupa  kekerasan  fisik.  Misalnya,  memukul,
menendang,  menjambak,  mendorong,  menampar, mencubit,  melempar  benda,  menyiram  dengan  air,
dihukum  dengan  mengangkat  satu  kaki,  dan  masih
banyak lagi.
2. Bisa  berupa  kekerasan  psikis.  Contohnya,  memaki
dengan  kata-kata  kasar  atau  binatang,  memarahi  di
depan  orang  banyak,  mengancam,  mendiamkan,  dan
masih banyak lagi.
3. Memaksakan hubungan seksual, posisi seksual tertentu,
atau memaksakan hubungan seksual secara komersial
(”melacurkan” diri).
4. Menelantarkan,  tidak  merawat,  tidak  memelihara,
membatasi, atau dipaksa bekerja untuk mencari nafkah
Apa jaminan hukum bagi yang mengalaminya?
Dalam  Undang-Undang  PKDRT  dijelaskan  soal  jaminan
hukum bagi mereka yang mengalaminya, yaitu:
1. Jaminan perlindungan sementara dari pihak kepolisian
dan surat perintah perlindungan dari pengadilan.
2. Hukuman  untuk  pelaku  diatur  sesuai  dengan  jenis
kekerasan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan.
3. Hak-hak bagi mereka yang mengalaminya.
Sayangnya hanya mereka yang terikat perkawinan sah
secara  hukum  sajalah  yang  dapat  dilindungi  oleh  UU
PKDRT ini. Kekerasan yang terjadi pada masa pacaran,
nikah  siri,  nikah  bawah  tangan,  atau  pasangan  yang
hidup bersama, tidak dilindungi.
Apa akibat KDRT pada anak?
Anak bisa menjadi korban langsung maupun tidak langsungMaksudnya,  ketika  anak  mengalami  sendiri  kekerasan,
maka anak adalah korban langsung. Namun jika anak hanya
mendengar  atau  menyaksikan  kekerasan  terhadap  anggota
keluarga lainnya, maka anak menjadi korban tidak langsung.
Meskipun anak tidak langsung mengalami kekerasan, akibat
yang muncul pada anak sama besarnya dengan yang dialami
oleh orangtuanya.
Akibat yang mungkin muncul pada anak antara lain:
•  Anak merasa ketakutan, kebingungan, dan sangat kaget
melihat kekerasan yang terjadi pada orangtuanya.
•  Tumbuh  perasaan  bersalah  karena  menganggap  diri
menjadi penyebab munculnya kekerasan.
•  Menjadi rewel, mengeluh sakit, sulit tidur, dan kembali
berperilaku seperti bayi (mengisap jempol, mengompol,
berbicara menggunakan bahasa bayi atau cadel, selalu
minta digendong atau ditemani).
•  Cenderung  suka  melawan  dan  kasar  atau  malah
justru  menjadi  tidak  mau  berteman  dan  lebih  memilih
menyendiri.
•  Jika  hal  tersebut  dibiarkan  terus,  kemungkinan  bisa
mengganggu  perkembangan  anak,  baik  secara  fisik,
kejiwaan, perilaku, maupun prestasinya nanti.
•  Dampak  jangka  panjang  pada  anak  laki-laki  adalah
meniru perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya.
Sedangkan  anak  perempuan  cenderung  menerima
kekerasan sebagai suatu hal yang wajar sehingga ketika
dewasa nanti besar kemungkinan akan kembali menjadi
korban,
 

Tinggalkan Balasan